Nikah Mut’ah

Menikah dalam Islam adalah sebuah ibadah yang merupakan sunnah Rasulullah Muhammad SAW dan merupakan salah satu dari tiga mitsaqan galizha atau perjanjian yang berat antara hamba dan Allah.

Sehingga tak hanya menggabungkan dua hati, dua anak manusia, dua pemikiran, dan dua keluarga dalam ikatan halal, namun juga sebagai salah satu bukti takwa hamba kepada Rabbnya.

Sehingga sangat diharamkan apabila menikah tujuannya bukan untuk beribadah pada Allah namun hanya untuk memuaskan nafsu dunia belaka.

Salah satu jenis nikah yang diharamkan Allah adalah nikah mut’ah.

Nikah mut’ah sendiri menurut fatwa MUI juga tegas sebagai perbuatan yang diharamkan atas perintah Allah dan RasulNya.

Sehingga nikah model ini tidak boleh dilakukan di Indonesia.

Sejarah Nikah Mut’ah

sejarah nikah mut'ah zaman rasul
pictame.com

Sebenarnya pada zaman Rasulullah SAW nikah mut’ah pernah diperbolehkan, namun akhirnya nikah ini diharamkan oleh Allah dan juga RasulNya.

Dari Ali bin Abi Thalib r.a, “Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan juga daging keledai peliharaan pada masa perang Khaibar.” (Muttafaqun Alaih).

Menurut Imam Al-Baghawi dalam bukunya, pada awal masa Islam, Rasulullah SAW pernah memperbolehkan nikah mut’ah, tetapi hal tersebut karena untuk memberikan keringanan pada orang-orang tertentu yang dikhawatirkan justru akan berbuat zina jika tak menikah, maka diperbolehkan menikah dengan jangka waktu tertentu dengan seorang wanita.

Hal tersebut diceritakan dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, “Kami pernah berperang dengan Rasulullah SAW dan saat itu kami sedang tidak bersama dengan istri-istri kami, sehingga kami pun bertanya ‘Wahai Rasulullah tidakkah kita perlu bervasektomi?’ kemudian beliau SAW memberikan keringan kepada kami untuk menikai wanita dengan baju sampai batas waktu tertentu.”.

Namun kemudian hadits tersebut langsung terhapuskan oleh hadits shahih yang dirawikan oleh Imam Muslim dan perawi lainnya, dengan hadits yang diriwayatkan oleh Sabrah Al-Jahinni, dimana dia pernah berperang dengan Rasulullah SAW untuk membebaskan Kota Makkah, dimana Rasul mengizinkan mereka menikahi wanita secara mut’ah, hingga kemudian belum sempat hal itu berjalan, Rasulullah langsung mengharamkannya, “Belum sempat hal itu berjalan sehingga beliau mengharamkannya.”.

Nikah mut’ah adalah menikahi seorang wanita dengan batas waktu terntu saja.

Hal tersebut tegas dilarang Allah sampai kiamat, dengan penguatan dari firmanNya di QS An-Nisa’ ayat 24: “Maka istri-istri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).”.

Hukum Nikah Mut’ah

hukum nikah mut'ah dalam al quran
hukum-on.blogspot.com

Nikah mut’ah hukumnya haram, dan hal tersebut tegas diharamkan oleh Allah dan RasulNya.

Tidak ada perbedaan ulama dalam Islam tentang hal ini, semuanya tegas menyatakan bahwa nikah mut’ah diharamkan dalam agama Islam.

Selain dilarang oleh Allah melalui QS An-Nisa’ ayat 24, dalam QS Al-Mu’minun ayat 6 juga disebutkan bahwa selain istri yang sah, maka haram bagi seseorang mencampurinya.

Selain dari Al-Qur’an, beberapa hadits shahih juga menegaskan pelarangan nikah mut’ah bagi orang Islam.

Salah satunya adalah hadits berikut ini:

Dari Rabi’ bin Sabrah, dari Ayahnya r.a, bahwasanya dia bersama dengan Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan seorang wanita. Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah! Jangan ambil sedikit pun dari apa yang telah diberikan.” (HR Muslim No. 1406).

Cara Nikah Mut’ah

cara nikah mut'ah kaum syi'ah
elevenia.co.id

Disebutkan oleh Ibnu Hazm, bahwa nikah mut’ah adalah menikahi seorang wanita dalam jangka waktu tertentu dan diharamkan oleh agama (Islam).

Dalam bahasa Indonesia bisa disebut dengan kawin kontrak.

Nikah mut’ah sendiri tetap dilaksanakan dengan adanya wali dan saksi nikah, dan kemudian disediakan upah untuk pihak perempuan dan ditetapkan pernikahan dengan batas waktu tertentu.

Setelah batas waktunya tiba, mereka akan berpisah dengan sendirinya dengan tanpa adanya thalak.

Jangka waktu yang dilakukan dalam nikah mut’ah biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; kemudian tidak ada nafkah; tidak ada mahar; tidak ada warisan; tidak ada iddah kecuali satu kali haid untuk wanita menopause, dua kali haid untuk wanita subur, dan empat bulan sepuluh hari bagi suaminya yang meninggal sebelum batas waktu mut’ahnya selesai; serta terakhir adalah tidak ada nasab.

Dengan beberapa hal tersebut, maka jelas sudah bahwa nikah mut’ah hanya akan merugikan pihak wanita, bahkan juga bisa merugikan pihak laki-laki.

Nikah Mut’ah Syi’ah

nikah mut'ah syiah adalah
gambar hanya ilustrasi: plus.google.com

Nikah mut’ah memang sering dilakukan oleh orang Syi’ah.

Bahkan mereka mewajibkan nikah tersebut untuk para pengikutnya.

Nikah mut’ah dilakukan hampir seperti ibadah bagi mereka.

Mereka juga membuat beberapa rukun untuk menikah mut’ah, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Shighat, seperti ucapan ‘Aku nikahi engkau’ atau ‘Aku mut’ahkan engkau’.

2. Ada calon istri, yang adalah wanita muslimah atau ahli kitab.

3. Jangka waktu tertentu.

4. Upah yang dibayarkan atas kerelaan (kemudian disebut sebagai mahar).

Mut’ah dalam Syi’ah Rafidhah dihalalkan bahkan diamalkan sebagai sebuah amalan wajib.

Dalam Man Laa Yahdhuruhul Faqih dari Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya nikah mut’ah itu adalah agamaku dan agama pendahuluku. Barangsiapa mengamalkan maka dia telah mengamalkan agama kami. Sedangkan barangsiapa mengingkarinya maka dia telah mengingkari agama kami dan meyakini agama selain kami.”.

Padahal Rasulullah SAW dan Allah SWT sendiri melarang keras, membuat nikah mut’ah haram hukumnya dilakukan bagi ummat Muslim yang menyatakan diri sebagaai hamba Allah dan ummat Rasulullah SAW.

Hal ini menjelaskan bahwa mereka telah melakukan sebuah pengingkaran dari apa-apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Nikah mut’ah ini dilakukan atas kerelaan dari dua belah pihak sehingga sang Suami boleh menggauli istrinya.

Syi’ah menyebut mut’ah adalah sebuah hal yang suci padahal hal tersebut dilarang oleh agama Islam karena tak ada bedanya dengan melakukan perzinaan.

Sebab tidak ada mahar, tidak ada warisan, tidak ada nasab bagi anak, tidak ada nafkah, dan tidak ada thalak.

Meskipun ada iddah, namun hak anak atas siapa ayah kandungnya tidak terlalu diperjuangkan dengan jelas.

Terlebih dengan wali dan saksi nikah, beberapa masih memakai sebagai formalitas namun selebihnya tak mempermasalahkan jika pihak-pihak tersebut tidak ada.

Mahar yang tidak ada diganti upah.

Upah sesuai kesepakatan kedua-belah pihak.

Sebagai hak masing-masing dalam pernikahan mut’ah ini, istri berhan mendapatkan pemenuhan hidup dari suami sedangkan suami berhak meminta hal-hal kepada istri termasuk hubungan seksual.

Syi’ah sendiri secara kuat mempertahankan kelegalan nikah mut’ah karena beranggapan pada masa lalu Rasulullah SAW pernah melegalkannya.

Padahal kala itu Rasul membolehkan karena keadaan darurat, seperti bagi para prajurit perang yang sedang tak bersama istri atau budaknya, sedangkan mereka tak ingin sampai berbuat zina, sehingga Rasul membolehkan menikah secara mut’ah namun tak lebih dari 3 hari.

Akan tetapi, berdasarkan riwayat yang shahih, sebelum hal tersebut dilaksanakan oleh kaum Muslimin, Rasul sudah melarangnya.

Karena Allah melarangnya dengan tegas.

Nah, jika Anda adalah ummat Muslim yang taat kepada Allah dan RasulNya, maka hindarilah segala yang Allah dan Rasul larang, termasuk salah satunya adalah nikah mut’ah.

Leave a Comment